(021) 83787990

contact@fenanza.id

Mengendalikan Penyakit dengan Mengelola Keseimbangan Plankton

Penyakit tampaknya menjadi tantangan yang tiada henti yang dihadapi oleh industri budidaya udang di Indonesia. Penyakit yang disebabkan oleh virus seperti white spot syndrome virus (WSSV), infeksi myonecrosis virus (IMNV) atau taura syndrome virus (TSV), serta yang disebabkan oleh bakteri, seperti Vibriosis, cukup merepotkan para petambak. Vibrio parahaemolyticus yang selama ini dikenal sebagai penyebab penyakit nekrosis hepatopankreatik akut (AHPND), yang juga dikenal sebagai Early Mortality Syndrome (EMS), akhir-akhir ini menjadi perhatian intens para petambak.

 

AHPND telah menjadi ancaman serius sejak wabah pertamanya di Cina pada tahun 2009 dan sejak itu menyebar ke beberapa negara Asia Tenggara  seperti Malaysia, Vietnam dan Thailand  yang menyebabkan penurunan tingkat produksi setelah wabah. Beruntung Indonesia tidak diserang pada tahap awal wabah, sehingga petambak bisa belajar dari negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam bagaimana cara menghindari dan menanganinya.

 

Tindakan untuk Menghindari AHPND

Ada beberapa tindakan yang dapat dilakukan untuk menghindari AHPND. Yang pertama adalah memastikan bahwa semua sumber yang mungkin  khususnya benur dan air laut  bebas dari Vibrio parahaemolyticus. Ada tiga prosedur utama untuk menghindari AHPND yaitu : benur yang bebas patogen, air yang bersih, dan tambak yang bersih. Langkah tersebut merupakan salah satu tindakan yang berhasil memulihkan produksi pasca wabah AHPND/EMS.

 

Untuk mencegah merebaknya AHPND di seluruh areal tambak udang di Indonesia, pemerintah dan perusahaan terintegrasi  seperti Central Proteina Prima (CPP) dan Japfa Comfeed Indonesia secara bersamaan telah membuat rekomendasi pencegahan AHPND melalui pengetatan prosedur budidaya, seperti melakukan persiapan yang lebih baik dan biosekuriti; menggunakan benur bersertifikat; pemantauan AHPND di air, sedimen, udang dan feses; dan juga menggunakan instalasi pengolahan air. Baik pemerintah maupun perusahaan perorangan juga telah proaktif melakukan pengawasan untuk menyaring dan melakukan tindakan pencegahan, seperti meningkatkan kemampuan laboratorium untuk memeriksa AHPND.

 

Selain itu, pemikiran tentang kematian dini pada udang yang disebabkan oleh V. parahaemolyticus juga memaksa para pembudidaya untuk melipatgandakan upaya mereka untuk memastikan bahwa stok benur dan air yang masuk bebas dari bakteri ini. Para petani kini sudah mulai melakukan pengecekan air laut secara berkala sebelum dipompa ke kolam mereka dan akan menunda produksi hingga mereka benar-benar yakin tidak mengandung Vibrio parahaemolyticus. Sementara pemerintah merekomendasikan agar pembudidaya hanya tambak dari pembenihan bersertifikat yang menjamin benur mereka bebas AHPND.

 

Prosedur-prosedur ini telah bekerja dengan baik bagi para petambak yang telah menerapkannya secara ketat. Namun, pencegahan penyakit merupakan pekerjaan yang berkesinambungan selama proses budidaya, sehingga biosekuriti perlu dilanjutkan selama masa produksi.

 

Mengoptimalkan Fitoplankton

Setelah melakukan tindakan pencegahan yang dirinci di atas, ada beberapa pendekatan untuk membantu mencegah AHPND saat siklus berlangsung. Salah satu yang paling efektif berkaitan dengan menjaga fitoplankton pada tingkat optimal untuk menekan pertumbuhan Vibrio.

 

Selain menghasilkan oksigen dan menjadi produsen pertama dalam rantai makanan, fitoplankton juga memberikan naungan di dalam air yang membuat udang muda nyaman dan sehat. Karena mereka berasal dari tempat penetasan yang dikontrol dengan sangat ketat, benur dapat stres saat dipindahkan ke kolam. Jika lingkungan tidak nyaman bagi udang, maka daya tahan tubuh udang dapat melemah dan hal ini dapat dimanfaatkan oleh bakteri patogen oportunistik seperti Vibriosis.

 

Oleh karena itu, fitoplankton harus diproduksi terlebih dahulu sebelum menebar benur. Namun, fitoplankton ini kemudian harus dipertahankan pada volume dan komposisi spesies yang optimal. Penurunan tajam jumlah plankton dapat membuat parameter air lainnya berfluktuasi tajam. Kematian massal fitoplankton dapat menyebabkan Vibrio berkembang. Hal ini juga dapat membuat udang stres dan memudahkan Vibriosis untuk menginfeksi dan menyerang sistem pencernaan udang.

 

Berdasarkan pengamatannya, udang yang terinfeksi Vibrios bisa bertahan hingga panen, asalkan segera ditangani. Salah satu indikasi vibriosis adalah adanya udang mati di dasar tambak dan saluran tengah, yang didahului dengan penurunan plankton yang drastis. Dalam situasi ini, petambak dapat memastikan kualitas air yang stabil dengan menyedot dasar tambak dan menambahkan air baru dari tambak mereka, yang harus mereka pastikan sudah didominasi oleh fitoplankton yang baik.

 

Pada saat yang sama, pemberian pakan dapat dikurangi untuk meminimalkan penambahan limbah organik dari pakan dan feses. Pakan dapat dilengkapi dengan probiotik seperti Bacillus dan Lactobacillus atau vitamin C dan produk kekebalan lainnya untuk meningkatkan kesehatan udang.

 

Setelah itu, petambak harus menanam dan membuat keseimbangan baru fitoplankton dengan perlakuan, seperti menambahkan pupuk seperti mineral dari produk ALKAPOND dan MINAPOND (Production by Fenanza) yang mengandung mineral penting untuk mendukung pertumbuhan dan keseimbangan plankton. Keseimbangan fitoplankton akan kembali dalam 3-7 hari dan budidaya dapat dilanjutkan hingga panen. Budidaya selanjutnya, bahkan bisa menghasilkan udang sebesar ukuran 20 setelah kembali dari infeksi Vibrio.

 

Studi Kamilia dkk menunjukkan bahwa kepadatan dan komposisi fitoplankton di tambak berpengaruh linier terhadap produktivitas tambak. Hasil penelitian menemukan bahwa kolam dengan volume fitoplankton yang lebih tinggi memiliki produktivitas yang lebih tinggi daripada kolam dengan volume yang lebih rendah. Dalam penelitian tersebut, kepadatan fitoplankton hingga 220.000 sel/ml masih menunjukkan dampak positif. Di lapangan fitoplankton biasanya berkisar antara 500.000 sampai 1 juta sel/ml. Semakin beragam komposisi spesies fitoplankton semakin membatasi pertumbuhan Vibrio.

 

 

Demikian uraian mengenai mengelola plankton untuk mengendalikan penyakit dan tingkatkan daya tahan udang terhadap infeksi.  Semoga bermanfaat dan terimakasih atas perhatiannya.

Share Artikel Ini
Artikel Berita Lainnya

Penyakit tampaknya menjadi tantangan yang tiada henti yang dihadapi oleh industri budidaya udang di Indonesia. Penyakit yang disebabkan oleh virus seperti white spot syndrome virus (WSSV), infeksi myonecrosis virus (IMNV) atau taura syndrome virus (TSV), serta yang disebabkan oleh bakteri, seperti Vibriosis, cukup merepotkan para petambak. Vibrio parahaemolyticus yang selama ini dikenal sebagai penyebab penyakit nekrosis hepatopankreatik akut (AHPND), yang juga dikenal sebagai Early Mortality Syndrome (EMS), akhir-akhir ini menjadi perhatian intens para petambak.

 

AHPND telah menjadi ancaman serius sejak wabah pertamanya di Cina pada tahun 2009 dan sejak itu menyebar ke beberapa negara Asia Tenggara  seperti Malaysia, Vietnam dan Thailand  yang menyebabkan penurunan tingkat produksi setelah wabah. Beruntung Indonesia tidak diserang pada tahap awal wabah, sehingga petambak bisa belajar dari negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam bagaimana cara menghindari dan menanganinya.

 

Tindakan untuk Menghindari AHPND

Ada beberapa tindakan yang dapat dilakukan untuk menghindari AHPND. Yang pertama adalah memastikan bahwa semua sumber yang mungkin  khususnya benur dan air laut  bebas dari Vibrio parahaemolyticus. Ada tiga prosedur utama untuk menghindari AHPND yaitu : benur yang bebas patogen, air yang bersih, dan tambak yang bersih. Langkah tersebut merupakan salah satu tindakan yang berhasil memulihkan produksi pasca wabah AHPND/EMS.

 

Untuk mencegah merebaknya AHPND di seluruh areal tambak udang di Indonesia, pemerintah dan perusahaan terintegrasi  seperti Central Proteina Prima (CPP) dan Japfa Comfeed Indonesia secara bersamaan telah membuat rekomendasi pencegahan AHPND melalui pengetatan prosedur budidaya, seperti melakukan persiapan yang lebih baik dan biosekuriti; menggunakan benur bersertifikat; pemantauan AHPND di air, sedimen, udang dan feses; dan juga menggunakan instalasi pengolahan air. Baik pemerintah maupun perusahaan perorangan juga telah proaktif melakukan pengawasan untuk menyaring dan melakukan tindakan pencegahan, seperti meningkatkan kemampuan laboratorium untuk memeriksa AHPND.

 

Selain itu, pemikiran tentang kematian dini pada udang yang disebabkan oleh V. parahaemolyticus juga memaksa para pembudidaya untuk melipatgandakan upaya mereka untuk memastikan bahwa stok benur dan air yang masuk bebas dari bakteri ini. Para petani kini sudah mulai melakukan pengecekan air laut secara berkala sebelum dipompa ke kolam mereka dan akan menunda produksi hingga mereka benar-benar yakin tidak mengandung Vibrio parahaemolyticus. Sementara pemerintah merekomendasikan agar pembudidaya hanya tambak dari pembenihan bersertifikat yang menjamin benur mereka bebas AHPND.

 

Prosedur-prosedur ini telah bekerja dengan baik bagi para petambak yang telah menerapkannya secara ketat. Namun, pencegahan penyakit merupakan pekerjaan yang berkesinambungan selama proses budidaya, sehingga biosekuriti perlu dilanjutkan selama masa produksi.

 

Mengoptimalkan Fitoplankton

Setelah melakukan tindakan pencegahan yang dirinci di atas, ada beberapa pendekatan untuk membantu mencegah AHPND saat siklus berlangsung. Salah satu yang paling efektif berkaitan dengan menjaga fitoplankton pada tingkat optimal untuk menekan pertumbuhan Vibrio.

 

Selain menghasilkan oksigen dan menjadi produsen pertama dalam rantai makanan, fitoplankton juga memberikan naungan di dalam air yang membuat udang muda nyaman dan sehat. Karena mereka berasal dari tempat penetasan yang dikontrol dengan sangat ketat, benur dapat stres saat dipindahkan ke kolam. Jika lingkungan tidak nyaman bagi udang, maka daya tahan tubuh udang dapat melemah dan hal ini dapat dimanfaatkan oleh bakteri patogen oportunistik seperti Vibriosis.

 

Oleh karena itu, fitoplankton harus diproduksi terlebih dahulu sebelum menebar benur. Namun, fitoplankton ini kemudian harus dipertahankan pada volume dan komposisi spesies yang optimal. Penurunan tajam jumlah plankton dapat membuat parameter air lainnya berfluktuasi tajam. Kematian massal fitoplankton dapat menyebabkan Vibrio berkembang. Hal ini juga dapat membuat udang stres dan memudahkan Vibriosis untuk menginfeksi dan menyerang sistem pencernaan udang.

 

Berdasarkan pengamatannya, udang yang terinfeksi Vibrios bisa bertahan hingga panen, asalkan segera ditangani. Salah satu indikasi vibriosis adalah adanya udang mati di dasar tambak dan saluran tengah, yang didahului dengan penurunan plankton yang drastis. Dalam situasi ini, petambak dapat memastikan kualitas air yang stabil dengan menyedot dasar tambak dan menambahkan air baru dari tambak mereka, yang harus mereka pastikan sudah didominasi oleh fitoplankton yang baik.

 

Pada saat yang sama, pemberian pakan dapat dikurangi untuk meminimalkan penambahan limbah organik dari pakan dan feses. Pakan dapat dilengkapi dengan probiotik seperti Bacillus dan Lactobacillus atau vitamin C dan produk kekebalan lainnya untuk meningkatkan kesehatan udang.

 

Setelah itu, petambak harus menanam dan membuat keseimbangan baru fitoplankton dengan perlakuan, seperti menambahkan pupuk seperti mineral dari produk ALKAPOND dan MINAPOND (Production by Fenanza) yang mengandung mineral penting untuk mendukung pertumbuhan dan keseimbangan plankton. Keseimbangan fitoplankton akan kembali dalam 3-7 hari dan budidaya dapat dilanjutkan hingga panen. Budidaya selanjutnya, bahkan bisa menghasilkan udang sebesar ukuran 20 setelah kembali dari infeksi Vibrio.

 

Studi Kamilia dkk menunjukkan bahwa kepadatan dan komposisi fitoplankton di tambak berpengaruh linier terhadap produktivitas tambak. Hasil penelitian menemukan bahwa kolam dengan volume fitoplankton yang lebih tinggi memiliki produktivitas yang lebih tinggi daripada kolam dengan volume yang lebih rendah. Dalam penelitian tersebut, kepadatan fitoplankton hingga 220.000 sel/ml masih menunjukkan dampak positif. Di lapangan fitoplankton biasanya berkisar antara 500.000 sampai 1 juta sel/ml. Semakin beragam komposisi spesies fitoplankton semakin membatasi pertumbuhan Vibrio.

 

 

Demikian uraian mengenai mengelola plankton untuk mengendalikan penyakit dan tingkatkan daya tahan udang terhadap infeksi.  Semoga bermanfaat dan terimakasih atas perhatiannya.

Share Artikel Ini
Artikel Berita Lainnya
Our customer support team is here to answer your questions. Ask us anything!